Kamis, 27 Agustus 2009

Membuat Tempe tak Sekadar"Tempe'

Membuat Tempe tak Sekadar"Tempe'

Siapapun tentu mengenal tempe, makanan tradisional Indonesia, warisan turun temurun dari nenek moyang. Sernuajuga pasti setuju kalau tempe ini berperan penting dalam menyehatkan bangsa karena ia adalah sumber gizi yang tinggi, baik protein, lemak, karbohidrat, vitamin, maupun mineral.
Kelebihan lain, harganya murah, rasanya enak, mudah dibuat, gampang dimasak dan dicerna, serta banyak digernari. Jadi, semua orang bisa mendapatkan fungsi dari tempe ini, termasuk lapisan masyarakat paling bawah sekalipun.
Tapi pernahkan Anda berpikir bagaimana cara meningkatkan kualitas tempe tanpa menambah harga jualnya? Bagaimana membuat tempe yang secara organoleptik, baik warna, bau, rasa, maupun tekstumya lebih baik? Bagaimana pula meningkatkan kandungan asam amino bebas, vitamin B2 (riboflavin), gamma-karotin (provitamin A), ergosterol (pro-vitamin D), vitamin B-6 (piridoksin), vitamin B-12, dan alfa-linolenat, serta penurunan asam fitat?
Inilah yang dilakukan BPPT melalui Direktorat Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Bio Industri lewat sebuah proyek. Menurut direkturnya, Dr Suyanto Pawiroharsono dalam sebuah bincang-bincang kepada wartawan Selasa (17/4), ada dua aktivitas utama yang dilakukan dalam proyek ini.
Pertama, teknologi produksi ragi atau inokulum tempe. Kedua, peralatan industri tempe skala kecil, 50 sampai 200 kg, dan skala rumah tangga, 10 sampai 25 kg.
"Dalam proyek ini kami tidak mernfokuskan pada proses pembuatan tempe, tetapi pada proses pembuatan ragi atau inokulum. Pembuatan tempenya sendiri sama seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang," jelas Suyanto.
Proyek ini tidak main-main. Pada skala kornersial, produksi inokulum atau ragi tempe ini dapat mencapai 5 sampai 10 ton per bulan. Dan teknologi ini sudah climasyarakatkan di Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, bahkan di Jakarta sendiri. Hanya mungkin, kata Suyanto, belum banyak masyarakat yang mongetahuinya.
Prinsipnya, produksi inokulum skala produksi sama dengan produksi skala laboratorium, yaitu dengan menggunakan substrat 15 kg beras.
Lebih dasarnya, beras mula-mula di cuci dan dibilas tiga kali. Kemudian direndam 1 kg beras dalam 1 liter air selama 15 menit. Setelah itu dikukus setengah matang dan di kukus lagi hingga masak menjadi nasi.
Bersamaan dengan itu, dilakukan juga kultur kapang Rhizopus oligosporus dan Rhizopus oryzae dalam media MEA selama 3 hari dan dalam media nasi juga selama 1 hari. Kedua jenis kapang ini nantinya digunakan dalam proses fermentasi bahan baku kedelai pada tempe.
Selanjutnya bahan-bahan tersebut dimasukkan (disuspensi) ke dalam aquadeststeril. Barulah kemudian dilakukan inokulasi 1 mi untuk setiap 100 gram nasi.
Mula-mula nasi dituang merata dalam sebuah loyang (nampan atau tray) dan didinginkan tanpa dikipas. Selanjutnya dikeram (diinkubasi) pada suhu 32 derajat ceicius selama 3 hari. Setelah jadi, dipotong kecil-kecil dan dikeringkan di bawah suhu 50 derajat celcius. Setelah dihaluskan jadilah ia tepung inokulum. Terakhir diencerkan.
Di Yogyakarta, produksi inokulum tempe ini sudah dilakukan melalui kerjasama KOPTI dengan BPPT. Kerjasama ini, cerita Suyanto, diawali dengan sejumlah. pengujian dan percobaan lapangan. Hasilnya telah dapat dikembangkan paket produksi ragi tempe dan telah dioperasionalkan untuk skala produksi 5 sampai 10 ton per bulan. Produk inokulum ini diberi merek hanoman.
Sementara paket peralatan, cerita Suyanto lagi, sudah berhasil didisain dan dipabrikasi empat unit peralatan sebagai prototipe untuk skala industri kecil dan rumah tangga. Tiga unit paket peralatan itu masing-masing telah diserahterimakan pengelolaannya Pemda Purwokerto, Pusat Studi Wanita Yogyakarta, dan Komplek Ponclok Pesantren di Bantul. Bagi yang ingin mempelajarinya, juga bisa dilihat di Laboratorium Teknologi Bioindustri Puspiptek Serpong. M

SAHABAi KITA ITU

Hampir semua orang Indonesia, apalagi Jawa, pasti mengenal tempe. Namun. masih jarang yang bisa membedakan tempe enak dan tidak enak..Juga, cara menyimpannya agar tahan lama. Padahal, sangat mudah.

Tempe sebenarnya bukan bahan pangan yang using bagi kita. Manuskrip Serat Centini yang terbit sekitar 1815 di Keraton Solo mencatat, kebiasaan makan tempe sudah ada sejak berabad-abad sebelumnya. Sedangkan buku pertama yang mengemukakan berbagai hal soal tempe, diterbitkan pada 1895. Buku itu karya mikrobiolog Belanda, H.C. Princen
Bahkan bahan pangan dari kedelai ini diperkirakan telah populer se^ jak perkernbangan kerajaan Hindu don Buddha di Indonesia. Ini mirip dengan keadaan di Cina dan Jepang. Di kedua tempat itu perkembangan agama Buddha selalu diikuti dengan perkembangan berbagai jenis pangan asal kedelai.

Namun, meski tempe telah "lahir" berabad-abad Ialu, namanya tak pernah melangit. la selalu merakyat. Berbeda dengan jenis bahan pangan lain, ter-utama yang berbau-bau Barat, yang begitu cepat digernari. Padahal, soal kandungan gizinya belum tentu lebih baik.

Citra rendahan yang melekat pada tempe mungkin berpengaruh besar terhadap popularitasnya. Di pasar swalayan pun tempe tenggelam

oleh melubernya bahan pangan bergengsi lainnya. Bahkan, amat sangat jarang sekali hotel berbintang menyediakan menu makanan berbahan tempe. Tempe masih diidentikkan de. ngan kemiskinan. lantaran harganya murah, cara pembuatannya sederhana, dan sering lidak higienis.

Namun, pada saat ini bayang bayang suram itu tidak sepenuhnya benar. Tempe telah menjadi produk pangan yang dihasilkan melalui proses yang lebih higienis. Bahan baku kedelainya tidak lagi di injak injak kaki

telanjang. Air -pembersih nya pun berasal dari air sumur, bahkan PDAM Sosoknya pun semakin "kekar" berkat kedelai impor yang dihasilkan petani "bule". Bahkan, raginya (inokulur.- kapang Rhizopus sp.) merupakan hasil penelitian LIPI. Berkat ragi tadi rasa tempenya pun relatif lebih enak, asal dikonsumsi saat masih berstatus tempe, bukan tempe bosok-.

Memang, sampai saat ini belum ada standardisasi kualilas tempe. Menurut beberapa perajin tempe, pernbedaan kualitas lebih didasarkan bersih-tidaknya








sepotong tempe dari kulit ari kedelai dan nyata-tidaknya rasa kedelainya. Bahkan, ada yang cuma berdasarkan bersih-tidaknya.
Tempe tanpa kulit dianggap berkualitcis lebih baik ketimbang yang berkulit. Oleh Zaenal Arifin, perajin tempe di Ciluar, Bogor, tempe macam ini disebut "tempe super". Proses pembuatannya sedikit lebih rumit. Menurut Kulsum, juga perajin, tempe tanpa kulit biasanya dibuat lebih padat kedelai ketimbang yang ber kulit. "Seperti pada tempe buatan saya, dalam kemasan plastik 16 x 25 cm bobot kedelainya 8 ons, sedangkan yang .dengan kulit cuma 5 ons," jelasnya. wajar kalau tempe tanpa kulit lebih mahal dan cocok untuk dijadikan keripik.
Sayang, data perbedaan nilai gizi di antara keduanya belum ditemukan.
Secara visual keduanya bisa dibedakan setelah dipotong melintang. Tempe tanpa kulit lebih bersih. Kepadatan kedelainya cukup tinggi dan jamur tempenya terlihat sedikit. Sedangkan yang bet-kulit terlihat seperti ada "benda tak berguna" di antara kedelainya.

Menurut H Yayang Haryono, sekretaris Koprasi Produsen Tempe tahu Indonesia (Primkopti) Kodya Bogor, berdasarkan kebersihan dari kulit kedelai tempe dibedakan atas tiga tingkatan kualitas. Yang adalah tempe yang tingkat kebersihan dari kulit mencapai 80% (ke atas). Tempe ini biasanya untuk -pasokan pasar swalayan. berikutnya tingkat kebersihannya 60%. Kebanyakan tempe yang ada di pasar termasuk kelompok ini Bahkan, di pasar induk ada pula tempe dengan tingkat kebersihan cuma 40% - - 50%

Soal enak -tidaknya, Yayang memberi kriteria umum bahwa tempe enak adalah tempe yang padat kedelai (sedikit sekali terlihat jamur di antara kedelainya) dan rasa kedelai nya nyata. "Kalau (rasa) sari kedelainya tidak terasa, ya, bukan tempe enak," jelasnya sembari memberi contoh tempe malang (yang sebenarnya) sebagai tempe enak . Sementara, Zaerial menyatakan, tempe enak adalah -- ang bersih (dari kulit ari).Padat atau tidak, bukan masalah katanya.

Dikeringkan, dipanaskan, atau fermentasi ditunda
Yayang, Kulsum, dan Zaenal sama-sama menyatakan, enak tidaknya sekerat tempe Ditentukan oleh usia tempe. Kalau baru jadi fresh from the oven, ditanggung paling enak. Setelah beberapa waktu, rasanya mulai berangsur kurang enak hingga akhirnya membusuk, yang ditandai dengan keadaan jamurnya tidak ada, dan warnanya kehitaman.

Yayang menyatakan, dengan penyimpanan baik sehingga memungkinkan tempe bernapas, tempe bisa tahan 5 - 10 jam. Bila ditumpuk, masa keenakanya berkurang dengan ditumpuk panas akan muncul pada tempe sehingga ia akan cepat membusuk Kalau disimpan -didalam kulkas tempe bisa tahan 2 3 hari," jelas Yayang.

Sementara menurut Kulsum dan Zaenal, di udara terbuka tempe akan tahan selama satu hari tanpa ada perubahan rasa. ."Kalau disimpan dalam lemari es bisa tahan hingga seminggu meskipun rasanya agak berubah, tak seenak tempe baru jadi," tambah Kulsum yang dalam sehari menghabiskan kedelai kering 50 kg untuk bikin tempe.

Soal pengawetan ini, beberapci peneliti mencoba teknik pengawetan tempe. Di antaranya dengan cara pengeringan. Tempe dipotong potong empat persegi dengan sisi 2,5 cm. Lalu dikeringkan

dalam pengering bersirkulasi udara pada suhu 69-C selama 90 - 120 menit. Dengan cara ini kadar air tempe berkurang 2 - 4%. Dalam kantung plastik kedap uap air, tempe kering macam ini bisa tahan beberapa bulan pada suhu ruangan. Namun terjadi-tidaknya perubahan nilai gizi, tempe setelah dikeringkan belum diketahui dengan jelas
Cara pengawetan lainnya, melalui proses pembekuan, Tempe dipotong-potong sesuai dengan ukuran yang dikehendaki. Lalu dimasukkan dalam air mendidih selama lima menit. Pemanasan ini akan menonaktifkan jamur- dan enzim proteolitik dan lipolitik. Setelah dingin dikemas dalam selofan dan dibekukan dalam frezeer.-. Cara ini bisa mengawetkan tempe hingga 100 hari tanpa perubahan berarti dalam penampilan, warna, dan rasa.
Teknik pengawetan terbaru adalah dengan menunda proses fermentasi Termpe belum jadi telah diinokulasi/diberi ragi tapi belum diinkubasi difermentasi) dimasukkan dalam kemasan plastik dan disimpan dalam frezeer. Bila

Sebagai Obat Multiguna
Tren gaya hidup kembali ke alam rupanya membawa masyarakat menengah ke atas semakin menyukai tempe. Mereka menjadi sadar makanan sumber protein nabati ini memberi dampak positif bagi kesehatan manusia. Tempe juga mempunvai keunggulan sebagai pangan fungsional (functional foods) yang khasiatnya sudah diakui masyarakat negara maju semacam Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang.
Menyadari hal itu tempe menjadi salah satu pilihan mereka. Bagi mereka mengkonsumsi pangan tidak semata untuk memenuhi kebutuhan gizi dan kelezatannya, tetapi juga karena pengaruhnya terhadap kesehatan tubuh. Bahkan, bila mungkin mampu menyembuhkan suatu penyakit. Pangan macam ini kemudian dikenal sebagai makanan fungsional (functional foods) atau health promoting foods.
Berbagai penelitian telah dilakukan guna mengungkap dan menggali khasiat tempe. Akhirnya, para ahli kesehatan dan gizi sepakat tempe pantas menjadi makanan masa depan karena khasiatnya yang luar biasa. Selain kandungan protein dan serat yang tinggi, tempe mampu mengatasi malnutrisi, memiliki efek hipokolesterolemik (menurunkan kadar kolesterol darah), dan mengandung zat antibiotik yang mempercepat penyembuhan penyakit akibat infeksi E coli.
Berkat proses fermentasi oleh kapang Rhizopus sp. banyak komponen dalam kacang kedelai menjadi lebih mudah larut dalam air dan lebih mudah dicerna. Selama fermentasi, protein dipecah menjadi senyawa lebih sederhana dan larut dalam air. Hal yang sama terjadi pada lemaknya. Jumiah asam lemak bebas meningkat dari 1% menjadi 30%, yang terbanyak adalah asam lemak tak jenuh linoleat dan linolenat. Penelitian menunjukkan, pertambahan bobot badan bayi dan balita penderita malnutrisi yang diberi makanan berbasis tempe lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberi makanan tambahan kedelai. Mereka juga mengalami penyembuhan diare dalam waktu relatif singkat.
Kalori dan karbohidrat yang terkandung dalam tempe juga tergolong rendah. Dalam 100 g tempe cuma terkandung kalori 157 kal. Karenanya tempe cocok bagi yang sedang menjalani program diet. Sedangkan karbohidratnya sekitar 9.4% dan praktis tidak ditemukan pati serta gula, sehingga baik bagi penderita diabetes.
Sementara, penelitian juga menunjukkan konsumsi tempe sebanyak 120 g/hr selama dua minggu mampu menurunkan kolesterol darah. Penderita hiperlipidemia mengalami penurunan kadar kolesterol total, LDL (kolesterol jahat), dan rasio kolesterol total dengan HDL (kolesterol baik), setelah mengkonsumsi tempe secara teratur selama dua minggu. HDL-nya juga meningkat secara bermakna dari 37,95 mg/dl menjadi 47,14 mg/dl (Arsiniati, 1994). Dengan demikian, risiko terkena penyakit jantung koroner dapat dikurangi dengan mengonsumsi tempe secara teratur.
Serat dalam tempe, yang nilai gizinya dianggap nol, membantu menjadikan feses lebih lembek dan normal, serta membuat jadwal "ke belakang" lebih teratur. Serat juga memperlancar pengeluaran asam empedu, sterol, serta lemak. Serat meningkatkan pula kemampuan mengikat air menjadi lebih tinggi sehingga bobot feses naik 15 g setiap 1 g serat yang ditambahkan dalam makanan. Sisa makanan yang banyak mengandung air akibat ferperangkap dalam serat tempe akan melewati usus besar dengan cepat dan kontak antara zat-zat penyebab kanker dalam sisa makanan dengan dinding usus besar berlangsung singkat. Ini dapat mengurangi risiko terjadinya kanker pada dinding usus besar.
Senyawa isoflavonoios (daidzein dan genistein) pada tempe cukup tinggi, yakni sekitar 0,42 mg/g tempe. Senyawa ini berfungsi sebagai antioksidan yang dapat meredam radikal bebas (atom atau molekul yang mempunyai satu atau lebih elektron tak berpasangan). Super oksida dlimustase (SOD), enzim penghambat proses penuaan. .jang ditemukan dalam tempe juga dapat menangkal radikal bebas. Dengan demikian. peran, radikal bebas dalam proses terjadinya berbagai penyakit degeneratif seperti kanker. penuaan dan arteriosklerosis dapat diredam atau ditangkal. Penyakit degeneratif yang saat ini menonjol adalah penyakit jantung. terutama jantung koroner

hendak dikonsumsi, sehari sebelumnya calon tempe dikeluarkon dari frezeer dan plastik diberi perforasi untuk aerasi. Calon tempe dibiarkan di ruangan terbuka pada suhu sekitar 30-C selama 20 - 22 jam. Tempe siap dimasak, Ialu disajikan.
Ditinjau dari segi gizi, ternpe dikenal sebagai sumber protein (nabati) yang baik. Namun, perbandingan nilai gizi tempe dengan kedelai sebelum difermentasi sering kontroversial, Sebagian peneliti melalporkan adanya peningkatan dan sebagian lagi tidak ada peningkatan nilai gizi. Yang jelas, berdasarkan bahan kering, kandungan protein tempe tak kurang dari 45% atau sekitar 19% dari bahan basah. Sekitar 56% protein tersebut dapat dimanfaatkan tubuh manusia. Lantaran kandungan protein yang tinggi inilah tempe dapat dijadikan sebagai bahan pangan pengganti daging.
Ketika tempe disajikan, nilai gizinya sangat tergantung pada cara pengolahan sebelum tempe dikonsumsi. Penelitian yang dilakukan Ir. Mariyati Sukarni, M.Sc., Ir. Amini Nasoetion, dan Ir. Sri Rihsti Kusno pada 1979 menunjukkan, pengolahan yang berbeda menghasilkan kandungan gizi yang berbeda pula. Ketika tempe dimasak menjadi sayur bening tempe, kadar proteinnya 28 g (dalam 100 g bahan kering), lemak 6 g, dan karbohidrat 19,1 g. Pepes tempe kadar proteinnya 23 g, lemak 5 g, dan karbohidrat 15,9 g. Sebaliknya bila dibuat menjadi tempe bacem kering, kandungan proteinnya turun drastis menjadi 5 g, lemak 40,7 g, dan karbohidratnya 7 g.
Sayarignya, data kandungan gizi tempe goreng tidak ditemukan, meskipun sangat umum tempe diolah hanya dengan menggorengnya. Yang ada hanyalah cara menggoreng yang baik. Tempe ternyata cuma perlu waktu penggorengan selama 3 - 4 menit agar siap dikonsumsi. Karena itu ada peneliti yang menggolongkan tempe sebagai pangan cepat masak.

Tempe mentah anti kolesterol
Siapa nyana tempe kedelai itu bisa mencegah meningkatnya kadar 2 kolesterol darah?
Prof. Dr. Soesanto Mangkuwidiojo, pekan Fakullas Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada, mengemukakan hal ini dalam simposium "Pemanfaatan Tempe Dalam Upaya Peningkatan Kesehatan dan Gizi" yang berlangsung tanggal 15 dan 16 April yang Ialu di Hotel Indonesia.
Penelitian yang berjudul "Pengamatan Daya Hipokolesteremik pada Tempe ini menggunakan empat puluh ekor tikus (Ratlus norvegicus) jantan dewasa. Tikus-tikus tersebut dibagi menjadi empat kelompok yang masing-masing terdiri atas sepuluh ekor.
Kelompok pertama sebagai kontrol diberi makan jagung. Kelompok kedua mendapat ransum jagung dan lemak hewan dengan perbandingan 90:10. Kelompok ketiga ransumnya terdiri atas jagung, lemak hewan dan tempe dengan perbandingan 70:10:20. Sedangkan kelompok keempat diberi, ransum jagung dan tempe dengan perbandingan 80:20.
Pengukuran kadar kolesterol darah dilakukan dua minggu sekali dengan menggunakan metode Webster.

Di akhir penelitian yang memakan waktu empat bulan itu, semua tikus dibunuh dengan- menggunakan eter. Kemudian dilakukan autopsi untuk pemeriksaan histopatologik dengan mengambil organ jantung, pembuluh darah utama dan hati.
Hasilnya menunjukkan bahwa kadar kolesterol tikus-tikus kelompok ketiga lebih rendah, jika dibandingkan dengan tikus yang tidak makan tempe (kelompok dua). Selain itu, pada tikus-tikus kelompok kedua ini terlihat gejala arterisklerosis (pengerasan dinding pembuluh nadi), dan pada hatinya tampak adanya perlemakan. Gejala- gejala ini tidak tampak pada tikus-tikus dari kelompok pertama, ketiga dan keempat. Ini berani, tempe mempunyai daya hipokolesteremik (mencegah peningkatan kadar kolesterol) dan mengalangi timbulnya arterisklerosis, yang berarti mengurangi risiko sakit jantung.
Dari penelitian lanjutan juga ternyata tempe mengandung senyawa lasitin, niasin, sitosterol, dan lemak tidak jenuh lainnya yang berperan dalam penurunan kadar kolesterol darah.
Tikus dipilih sebagai hewan percobaan, karena selain tikus mau saja diberi makan tempe mentah, juga secara fisiologis binatang pengerat yang satu ini lebih dekat dengan manusia ketimbang hewan lain.
Apakah cara memasak juga mempengaruhi keampuhan tempe dalam mencegah meningkatnya kadar kolesterol darah? Mungkin ini yang masih perlu diteliti lagi. 9

Tidak ada komentar: